Kamis, 09 Februari 2017

Hasil gambar untuk makmum perempuan

Saudaraku sesama muslim, sidang pembaca yang terhormat, kembali AL-Fakir berdakwah (lewat tulisan) kali ini sesuai judul artikel religius ini tersebut diatas. Namun sebelum membahas materi, ingin saya mengingatkan bahwa dalam shalat berjama’ah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya persoalan Imam, cara menegurIman (sebab bukan mustahil seorang Imam dalam melaksanakan tugasnya bisa saja berlaku khilaf bukan ?), cara mengganti Imam dan apa syarat-syarat tertentu bagi seorang makmum menurut yang diajarkan syariat? Kenapa? Karena yang akan kita bahas kali ini adalah masalah yang ada kaitannya dan tidak terlepas dari pengertian yang namanya shalat berjama’ah. Sementara shalat berjama’ah itu sendiri mempunyai keistimewaan yaitu lebih baik 27 (dua puluh tujuh) derajad dari shalat sendiri.
·              Sesuai Hadist Nabi SAW :
”Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Shalat berjama’ah itu lebih baik daripada shalat sendiri dengan 27 (dua puluh tujuh) derajad.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baiklah, Sekarang kita mulai dengan pembahasan kita. Siapa yang disebut Imam? Imam adalah orang yang memimpin shalat, baik shalat wajib (fardhu) maupun shalat sunnat (mafilah). Imam akan selalu diikuti gerak-geriknya dalam shalat oleh Jama’ah yang lain. Untuk menjadi seorang Imam harus mempunyai syarat-syarat diantaranya seperti berikut ini :
a.            Sehat akalnya
b.           Lebih fasih bacaannya.
·              Sesuai sabda Rasulullah SAW :
”Jika bertiga maka hendaklah mereka dijadikan Imam salah seorang dari mereka, dan yang lebih berhak diantara mereka untuk menjadi Imam adalah orang yang lebih fasih bacaannya.” (HR. Muslim)
c.            Harus laki-laki jika salah satu makmumnya terdapat laki-laki (tidak boleh perempuan menjadi Imam laki-laki)
d.           Yang lebih tua umurnya dan atau lebih tampan wajahnya.
·              Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :
”Jika mereka sama bacaannya maka pilihlah yang lebih tua dan jika umurnya sama mereka pilihlah diantara mereka yang lebih tampan (ganteng) wajahnya.” (HR. Baihaqi)
            Saudaraku, ada orang-orang yang tidak boleh dijadikan Imam. Siapa-siapa saja mereka itu ?
1.            Perempuan bagi makmum laki-laki
2.            Banci bagi makmum laki-laki
3.            Banci bagi makmum  banci
4.            Perempuan bagi makmum banci
5.            Orang yang pandai membaca Al-Qur’an menjadi makmum kepada orang yangtidak dapat membaca Al-Qur’an.
Sebagai manusia, Imam dalam shalat dapat saja berlaku khilaf dalam melaksanakan tugasnya. Untuk itu didalam syariat Islam sudah diatur tata cara bagaimana menegur Imam dan tata cara menegurnya adalah sebagai berikut:
1.            Apabila Imam dalam melakukan gerakan shalat salah maka makmum berkewajiban memperbaiki kesalahannya.
2.            Cara memperbaiki kesalahan, untuk laki-laki dengan mengucapkanSubhanallah, sedangkan makmum perempuan dengan cara : bertepuk tangan (yakni memukulkan tangan kanannya ketangan kiri bagian atas)
Kemudian bagiamana kalau sekiranya didalam shalat berjama’ah, Imam secara tidak sengaja mengalami hal yang membatalkan shalat, maka makmum yang dibelakangnya (berdiri dibelakang Imam) maju kedepan sebagai pengganti Imam dalam memimpin shalat sampai shalat selesai.
·              Perhatikan riwayat yang diceritakan Said bin Mansyur dari Abu Razin yang artinya: ”Pada suatu hari Ali bin Abu Thalib sedang shalat, tiba-tiba keluar darah dari hidungnya. Kemudian ia (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) segera menarik tangan seorang makmum dibelakangnya maju kedepan untuk menggantikannya.” (Dikutip dari bukuPendidikan Agama Islam Oleh: Drs. Ahmad Syafi’i Mufid, M.A.)
Sementara makmum adalah orang yang mengikuti Imam dalam shalat. Makmum dalam shalat berjama’ah hendaknya memiliki perasaan senang dan ikhlas kepada Imam. Untuk menjadi seorang makmum maka diperlakukan syarat-syarat tertentu diantaranya seperti berikut :
1.            Makmum wajib niat mengikuti Imam dan Iman disunnahkan berniat menjadi Imam.
·              Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Sesungguhnya syahnya sesuatu perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)
2.            Makmum harus mengikuti segala gerak shalat yang dikerjakan oleh Imam, seperti rukuk dan kembali dari rukuk, dengan cara melihat Imam langsung atau melihat makmum yang ada didepannya.
·              Perhatikan pula Hadist Muttafaqun ’Alaih ini :
”Rasulullah SAW bersabda : ”Bahwasanya dijadikannya seorang Imam adalah untuk diikuti maka apabila dia bertakbir, bertakbirlah dan jika rukuk, rukuklah.” (HR. Muttafaqun ’Alaih.)
3.            Tidak boleh mendahului Imam atau melambatkan diri dari dua rukun Fi’li (perbuatan).
4.            Laki-laki tidak syah mengikuti Imam perempuan
5.            Berada disuatu lingkungan tempat yang sama dan tidak ada batas yang menghalangi antara Imam dan Makmum.
6.            Makmum dan Imam hendaklah dalam satu tempat, misalnya dalam satuMasjid atau Mushola, meskipun ini bukan termasuk syarat Jama’ah, tetapi hukumnya sunnat karena makmum perlu mengetahui gerakan Imam di depan.
7.            Makmum jangan mendahului Imam atau memperlambat diri dengan gerakan shalat Imam, seperti Imam belum takbir makmum sudah takbir atau Imam sudah sujud makmum baru rukuk.
8.            Makmum dengan Imam hendaklah sama-sama shalatnya, apabila shalatAshar dengan shalat Ashar. Namun, hal itu untuk mencari keutamaan jama’ah. Tetapi jika tidak bersamaan dengan orang yang shalat maktubah (shalat fardhu), maka tidakboleh mengikuti (menjadi makmum) dengan orang yang sedang shlat mafilah (sunnat). Seperti orang yang sedang shalat Ba’diyah Isya tidak boleh diikuti oleh orang yang akan shalat fardhu. Cara memberitahukan bahwa kita sedang shalat sunnat agar tidak diikuti oleh orang yang akan shalat fardhu adalah dengan menghentakkan tangan kanan kita dan kalau melihat kode (hentakan tangan) tersebut hendaknya orang yang berniat menjadi makmum itu mengurungkan niatnya mengikuti untuk (bermakmum) kepadanya. Begitu juga orang yang shalat fardhu tidak boleh mengikuti (menjadi makmum) kepada orang yang sedang shalat gerhana atau shalat jenazah karena aturannya tidak sama.
Tetapi sebagian Ulama berpendapat orang yang sedang shalat sunnat (misalnya shalat Ba’diyah Isya, dll) boleh diikuti oleh orang yang berniat akan shalat fardhu karenaaturannya sama. Misalnya kita sedang shalat sunnat (Ba’diyah Maghrib) tiba-tiba pundak (bahu) kita dicolek (sebagai tanda) seseorang akan mengikuti shalat (menjadi makmum) dengan shalat kita, boleh saja dan kita tidak usah (tidak perlu) memberi kode dengan cara menghentakkan tangan kanan kita. Wallahu a’lam bishawaab!.
9.            Makmum tidak boleh mengikuti Imam jika Wudhu Imam tersebut sudah batal atau berhadast, seperti Imam yang buang angin (kentut) atau Imamnya bukan orang Islam.
10.       Makmum yang datang terlambat atau masbuk sementara Imam sudah rukuk atau sujud, maka makmum masbuk membaca takbiratul ihram dengan niat mengikuti Imam. Selanjutnya makmum masbuk mengikuti apa yang sedang dikerjakan oleh Imam. Jika Imam sudah duduk tawaruk (bersimpuh) waktu bertasyahud atau duduk Iftirasymakmum mengikutinya tanpa membaca Al-Fatihah sebab bacaan Al-Fatihah bagi makmum masbuk sudah ditanggung oleh Imam.
·              Perhatikan Sabda Rasulullah SAW :
”Jikalau kamu datang untuk shalat dan kami sedang sujud maka sujudlah, tetapi jangan dimasukkan hitungan. Barangsiapa yang mendapat rukuk berarti ia mendapatkan shalat.”(HR. Abu Daud)
Saudaraku, dengan perkataan lain bahwa kalau makmum masbuk dapat mengikuti rukuk bersama-sama Imam walaupun makmum belum sempat membaca Al-Fatihah, makmum masbuk itu mendapat satu raka’at. Sebaliknya makmum masbuk kalau tertinggal rukuk bersama Imam maka apabila Imam salam, ia berdiri lagi untuk menyelesaikan raka’atnya yang tertinggal.
Sidang pembaca, ketika saya menulis artikel ini (saya beserta keluarga sedang berlibur di luar Jakarta) ada yang bertanya kepada saya (Seorang anak muda, yang belakangan saya tahu dia seorang aktivis masjid dan siswa kelas III salah satu SMU Negeri Unggulan): ”Ustad, saya mau tanya.” katanya kepada saya : ”Kasus ini baru kira-kira dua minggu lalu saya alami, saya shalat berjama’ah di Masjid dan mula-mula sih shalat berjalan baik artinya bacaan fatihah Imam bagus, bacaan suratnya bagus, tu’maninahnya juga baik bahkan rukun dan sunnat-sunnatnya shalat dikerjakan dengan baik oleh Imam di raka’at pertama. Hanya saja baru pada raka’at kedua Imam berlaku khilaf, pada waktu Imam duduk diantara dua sujud, setelah sujud kedua semestinya Imam duduk untuk tahiyat (tasyahud) awal, tetapi Imam lupa dan langsung berdiri tegak, makmum yang melihat ini spontan mengucap Subhanallah. Imam yang mendengar peringatan ini, sadar akan kesalahannya dan cepat-cepat duduk lagi untuk tahiyat (tasyahud) awal. ”Saya, Ustad.” kata anak muda itu kepada saya: ”Ketika melihat Imam yang sudah berdiri, kemudian duduk lagi saya berpendapat Imam sudah batal shalatnya dan saya munfarid (saya niat keluar dari berjama’ah, pisah dari Imam) saya shalat sendiri sampai selesai (mengucap salam) : ”Tindakan saya itu salah atau benar ustad ?
Kemudian apakah saya yang sempat mengikuti shalat bersama Imam (berjama’ah) di raka’at pertama itu masih mendapat berjama’ah (mendapat pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat atau hanya mendapat ganjaran 1 (satu) derajat saja. Dan makmum yang mengikuti Imam dan Imam sebelum shalat melakukan sujud sahwi, bagaimana itu Ustad ?”
Saya menjawab : ”Tindakan kamu munfarid itu benar dan Imam yang keliru. Dan karena kamu sempat berjama’ah dan mendapat satu raka’at di raka’at pertama makaAllah SWT tidak menghilangkan pahala berjama’ah kamu, itu artinya kamu tetap mendapat ganjaran pahala yang 27 (dua puluh tujuh) derajat. Sedangkan shalat Imam dan makmum yang mengikuti Imam tetap tidak syah (batal) walaupun Imam melakukan sujud sahwi sekalipun dan shalat mereka harus di ulang.”
Saudaraku sesama muslim, sidang pembaca yang terhormat. Kenapa saya membenarkan tindakan anak muda itu ? Dan kenapa saya mengatakan Imam yang keliru dan shalat mereka tidak syah (batal) dan mereka harus mengulang shalat? Sidang pembaca, didalam shalat ada syarat, rukun dan ada sunnat-sunnat shalat yaitu sunnatAb’adl dan sunnat Hai’at. Kasus anak muda tadi, berdiri tegak didalam shalat fardhu adalah rukun sedangkan duduk Iftirasy untuk tasyahud awal hukumnya adalah sunnat Hai’at. Jadi Imam dalam kasus ini sudah mendahulukan yang sunnat daripada yangrukun dan menjadilah shalatnya batal dan meskipun Imam melakukan sujud sahwi, tetap shalatnya tidak syah dan harus diulang shalatnya. Tinggal lagi bagaimana cara memberitahukannya itu (kepada Imam dan makmum) memang memerlukan kebijaksanaan serta kearifan agar tidak menimbulkan kegaduhan (fitnah). Yang utama harus diberitahukan kepada mereka apapun resikonya, sesuai ajaran agama : Sampaikan yang hak walaupun pahit.
Saudaraku, sampai disini saya sudahi dakwah saya (lewat tulisan) semoga bermanfaat, terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Wa’afwa minkum wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

INFO

SAYA MEMBUAT BLOG INI UNTUK MENAMBAH WAWASAN DAN ILMU PENGHETAHUAN TENTANG ISLAM . BAHWA ILMU INI SANGATLAH PENTING UNTUK KALIAN SEMUA DENGAN ILMU INI KALIAN AKAN MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN KEBAHAGIAN DI DUNIA MAUPUN DI AKHIRAT. AMIN YA RABBAL ALAMIN.

Followers

Popular Posts

MAKNA ALLAH SWT

Makna ”Allah SWT”:
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa makna ”Allah SWT” adalah: Allah (Tuhan) yang Mahasuci dan Mahatinggi.

Sebenarnya, SWT (Subhanahu wa Ta’ala) bukan satu-satunya lafaz yang disertakan oleh ummat Islam setelah lafaz ”Allah”. Masih banyak lagi lafaz-lafaz lain, antara lain:
- ’Azza wa Jalla => Allah ’Azza wa Jalla
- Jalla Jalaluh => Allah Jalla Jalaluh
- Tabaroka wa Ta’ala => Allah Tabaroka wa Ta’ala

Semua lafaz tersebut adalah sifat-sifat kemuliaan dan keagungan Allah SWT.

Perlu diperhatikan, meski pun secara bahasa lafaz ”Allah” berarti ”Tuhan”, sebagai seorang muslim kita harus tetap meyakini bahwa ”Allah” adalah nama bagi ”Zat” Tuhan Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Sebab Al-Qur’an sendiri – yang notabenenya wahyu Tuhan – menegaskan bahwa ”Allah” adalah nama bagi Tuhan Pencipta dan Penguasa jagad raya ini. Demikian juga dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad saw.

Wallahu a’lam.