Senin, 06 Februari 2017


kisah-nyata-seseorang-terperdaya-di-bulan-ramadhan

Rasa heran kawan kita itu sebenarnya bisa kita maklumi karena di tempatnya Malaysia sana, pemandangan aneh itu sulit ia temukan. Padahal yang ia tahu umat Islam Indonesia merupakan umat Islam terbesar di dunia, sehingga ia mengira umat Islam di Indonesia pastilah mampu menunjukkan sikap hormat dan memuliakan bulan Ramadhan. Tapi keadaan sebaliknya justru yang ia hadapi.
Sebagai penduduk Jakarta, kami sempat malu mendengar pengakuan kawan kita dari negeri jiran itu. Betapa tidak, apa yang ia ceritakan tentang sikap sebagian penduduk kita yang tidak menaruh hormat terhadap kemuliaan bulan Ramadhan memang benar adanya. Kita dapat dengan mudahnya menemukan orang-orang yang sedang menyantap makanan tanpa merasa bersalah di sembarang tempat di siang ramadhan.

Dan jangan heran, jika orang kita lihat sedang makan itu, bukanlah seorang non  muslim, tetapi benar-benar seorang muslim. Bahkan, bisa jadi orang sedang makan itu sebenarnya dikenal alim di lingkungannya, entah di rumahnya atau di kantornya. Mungkin juga dia figur seorang bapak yang sangat dihormati anak-anaknya. Di rumahnya, di hadapan keluarga dan kaum kerabatnya, ia mengaku  berpuasa, namun di tempatnya bekerja ia diam-diam makan dan minum sepuasnya. Cerita berikut ini salah satu contohnya.

Tersebutlah seorang pria paruh baya bernama Andi (bukan nama sebenarnya). Usianya sekitar 50 tahunan. Di kantornya ia termasuk orang terpandang dan memilki jabatan yang baik. Bagaimana tidak, ia seorang wakil direktur sebuah perusahaan swasta yang membawahi puluhan karyawan. Di keluarganya, istri dan anak-anaknya sangat mengaguminya.

Sebagai ayah, ia mencontohkan segala hal yang baik-baik. Ia ingin selalu tampak sempurna. Pun dalam soal ibadah puasa yang datangnya setahun sekali. Ketika di rumah, ia mengikuti kebiasaan sebagaimana lazimnya orang berpuasa. Bangun sahur sekitar pukul tiga dan berbuka puasa bila azan Maghrib berkumandang. Padahal sejatinya, tatkala sampai di kantor, ia menunjukkan sikap yang jauh api dari panggang. Bila jam makan siang tiba ia gelisah mengatasi laparnya, karena tak tahan, ia acapkali memanggil seorang office boy (pesuruh kantor) keruangannya.

Di ruangan tersebut, ia minta tolong office boy  tersebut untuk membelikan makanan. Hal ini dilakukannya sebab ia malu bila karyawan-karywannya yang berpuasa itu sampai tahu perihal dirinya. Office boy yang disuruhnya pun di minta untuk bungkam, merahasiakan kondisinya. Tak aneh, bila  Andi, sang bos, itu minta kepadanya untuk menyembunyikan makanan yang dibelinya, serapi mungkin Office boy yang kebetulan sedang puasa hanya menganggukkan kepala. Ia takut akan dipecat bila tidak menuruti permintaan bosnya.

Begitulah hari-hari selama bulan suci Ramadhan dilaluinya dengan penuh kepura-puraan. Untuk menutupi puasanya kadangkala ia pulang bila malam  sudah  larut. Terkadang ia pun ikut berbuka puasa bersama keluarganya. Hingga kini orang tersebut masih diperkenankanlah Allah menghirup udara dunia.

Ternyata  kisah di atas, bukanlah milik pribadi Andi seorang sang wakil direktur sebuah perusahaan. Sebuah cerita senada juga pernah penulis dapatkan dari satu sumber yang tak mau disebutkan namanya. Konon, katanya ada seorang laki-laki yang berusia 40 tahunan yang mombohongi istri dan anak-anaknya, Rafi (juga bukan nama sebenarnya) nama pria tersebut.

Di dalam rumah, ia acapkali menampakkan diri sebagi orang yang berpuasa, sementara di luar rumah ia menghabiskan waktu dari cafe ke cafe. Hal demikian tentulah tidak menyulitkan dirinya sebab di perusahaannya ia termasuk salah satu managernya.

Bersama teman-temannya yang juga pura-pura berpuasa. Rafi berkumpul dan pesta pora. Makan dan minum sepuasnya, kalau  sudah begitu, ia lupa bahwa istri dan anaknya seharian penuh. Praktis, mulai dari pukul 12 siang hingga pukul 1.00 siang, ketika jam istirahat kantor selesai, Rafi dan teman-temannya kembali ke kantornya masing-masing. Terkadang, jika tak sempat makan siang bersama, Rafi melakukan trik yang sama seperti yang dilakukan pak Andi di atas.

Dua kisah di atas hanyalah segelintir peristiwa yang layak, kita cermati. Sebab jangan-jangan ayah (suami) kita melakukan hal yang sama. Di rumah ia tampak begitu shaleh, ia anjurkan istri dan anak-anaknya untuk berpuasa. Bila waktu sahur tiba, dia menyempatkan diri untuk membangunkan anak-anaknya untuk bangun makan sahur. Namun, di luar rumah, entah itu di jalan, kantor atau tempat-tempat yang tertentu, pribadinya bertolak belakang dari apa yang kita lihat. Ia tak sungkan-sungkan makan dan minum sepuasnya. Kadang sembunyi-sembunyi, kadang pula secara terang-terangan.

Semoga anggota keluarga kita tidak melakukan perbuatan munafik di atas. Sebab, bila hal tersebut terjadi itu berarti iblis tengah bersorak-sorai gembira karena telah berhasil menipu daya hamba Allah.
Sebagaimana janjinya kepada Allah swt, ketika dia terusir dari surga sehabis menyombongkan diri di hadapan Allah Azza wa Jalla. “Karena engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”  (QS. Al-A’raf ayat 16-17).

Terlebih-lebih di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini. Begitu gencarnya ia membisiki umat Muhammad saw, untuk meningglakan puasa. Dan kalaupun orang yang dibisiki merasa malu tidak berpuasa dikarenakan kelurga dan kaum kerabatnya berpuasa, sang iblis pun merayu para hamba Allah itu untuk berpura-pura puasa saja.

Ia tampakkan pikiran rasa lapar beserta makanan dan minuman lezat-lezat di benak mereka. Maka, disiang hari bulan Ramadhan ketika sebagian orang tengah bergelut untuk melawan lapar dan dahaga, orang yang tengah terperdaya dengan iblis sedang asyik-asyiknya menyantap makanan dengan lahapnya.

Mereka sendiri tidak sadar kalau makanan dan minuman tersebut adalah hasil rekayasa iblis yang pandai menipu penglihatan manusia. Padahal sejatinya makanan dan minuman tersebut adalah api yang bakal menggerogoti dirinya dari beribadah dan berbuat untuk kebaikan. Kenapa api? Sebab iblis tercipta dari  bahan dasar api dimana bila unsur api sudah memasuki tubuh manusia, itu artinya ia berhasil menciptakan iblis-iblis berjasad manusia. Maka sukseslah misi Iblis memiliki kawan sejati dari keturunan anak Adam untuk diajak memasuki gerbang pintu neraka secara bersama-sama kelak. Dan neraka, sendiri akan sangat gembira  menyambutnya sebab iblis  dan manusia yang sudah terkena tipu muslihat itu telah memiliki zat api yang senyawa dengan neraka.

Kalau demikian adanya, iblis pun tak perlu lagi bersusah payah menebar tipu daya untuk menyeru orang tidak berpuasa. Tugasnya sudah terwakili oleh iblis-iblis yang berbentuk manusia yang mencari teman untuk diajak melanggar kewajiban yang telah diperintahkan aleh Allah. Padahal dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang tidak berpuasa selama satu hari dalam bulan Ramadhan tanpa ada rukhsah (keringanan) untuknya, maka  tidaklah dia dapat menggantikannya meskipun dengan berpuasa setahun.”

Memang, orang yang sedang digoda iblis tidak, menyadari kalau dirinya tengah diperdaya oleh oiblis, sebab iblis dan kawan-kawannya sudah ditakdirkan menjadi penggoda yang tak tampak oleh mata. Sebaliknya, mereka sendiri dapat melihat manusia. Bukankah dalam surah Al-A’raf ayat 27, Allah swt berfirman. “Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”

Dalam ingatan, bukankah Nabi Adam dan Hawa sendiri tergoda  untuk memakan buah khuldi yang dilarang oleh Tuhan karena bujuk rayu iblis sehingga mereka diturunkan dari surga  yang serba nikmat ke dunia yang penuh gelimang maksiat?

Tak aneh, bila iblis, jin dan setan dapat dengan mudahnya menjerumuskan  manusia untuk melanggar hal-hal yang diperintahkan oleh Alllah swt. Oleh karena itu juga dalam satu surah yang mungkin sudah sangat kita hafal, Tuhan menegaskan agar kita senantiasa membetengi diri dari bisikan-bisikan jin dan setan, “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia” (QS. An-Nas ayat 4-6)

Orang-orang yang sudah tergoda oleh iblis, biasanya, tidak akan merasa malu untuk meninggalknan puasa. Oleh karena itu, ia tidak merasa risih untuk bersikap munafik. Ia merasa nyaman saja pulang kerumah dengan mengaku sebagaimana orang yang berpuasa, padahal di kantor atau di luar rumah ia telah menjadi teman iblis laknatullah. Kendati demikian, meskipun dia dapat menyimpan rahasia dengan baik, dia tidak bisa menyembunyikan dari penilaian Allah yang  kelak akan memberikan balasan setimpal atas perbuatannya. “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi balasan padanya.” Demikian Allah menegaskan dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Demikianlah, orang-oramng seperti ini bukanlah tokoh rekaan semata, tetapi sangat banyak di sekeliling kita. Semoga kita bisa menghindari sikap munafik seperti mereka dengan benar-benar menegakkan ibadah puasa Ramadhan dengan  baik, sehingga Allah swt, berkenan memberikan berkah dan kemuliaan-Nya kepada kita semua.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

INFO

SAYA MEMBUAT BLOG INI UNTUK MENAMBAH WAWASAN DAN ILMU PENGHETAHUAN TENTANG ISLAM . BAHWA ILMU INI SANGATLAH PENTING UNTUK KALIAN SEMUA DENGAN ILMU INI KALIAN AKAN MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN KEBAHAGIAN DI DUNIA MAUPUN DI AKHIRAT. AMIN YA RABBAL ALAMIN.

Followers

Popular Posts

MAKNA ALLAH SWT

Makna ”Allah SWT”:
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa makna ”Allah SWT” adalah: Allah (Tuhan) yang Mahasuci dan Mahatinggi.

Sebenarnya, SWT (Subhanahu wa Ta’ala) bukan satu-satunya lafaz yang disertakan oleh ummat Islam setelah lafaz ”Allah”. Masih banyak lagi lafaz-lafaz lain, antara lain:
- ’Azza wa Jalla => Allah ’Azza wa Jalla
- Jalla Jalaluh => Allah Jalla Jalaluh
- Tabaroka wa Ta’ala => Allah Tabaroka wa Ta’ala

Semua lafaz tersebut adalah sifat-sifat kemuliaan dan keagungan Allah SWT.

Perlu diperhatikan, meski pun secara bahasa lafaz ”Allah” berarti ”Tuhan”, sebagai seorang muslim kita harus tetap meyakini bahwa ”Allah” adalah nama bagi ”Zat” Tuhan Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Sebab Al-Qur’an sendiri – yang notabenenya wahyu Tuhan – menegaskan bahwa ”Allah” adalah nama bagi Tuhan Pencipta dan Penguasa jagad raya ini. Demikian juga dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad saw.

Wallahu a’lam.