Rabu, 08 Februari 2017


Hasil gambar untuk pengorbanan

[Kisah Motivasi, Ditulis dengan Tinta Air Mata]
Adalah Syaikh Utsman Dabu –semoga Allah merahmati beliau- berasal dari Republik Gambia, ujung Barat Afrika. Beliau tinggal di rumah sederhana pada suatu desa kecil dekat ibukota Banjul.
Syaikh Utsman menceritakan perjalanannya bersama empat kawannya lima puluh tahun yang lalu ketika menuju Baitullah dengan berjalan kaki dari Banjul menuju Makkah. Mereka berlima meretas benua Afrika dari Barat hingga Timur tanpa berkendaraan, kecuali pada waktu-waktu singkat yang mereka mengendarai hewan hingga mereka tiba di Laut Merah guna menyeberang menuju Jeddah.
Suatu perjalanan penuh keajaiban yang berlangsung selama dua tahun. Kadang mereka singgah di sebagian kota untuk istirahat, bekerja, dan berbekal, kemudian melanjutkan perjalanan.
Beliau ditanya, “Bukankah haji ke Baitullah diwajibkan atas orang yang mampu, sedangkan Kalian dalam keadaan tidak memiliki kemampuan?”
Beliau menjawab, “Benar. Namun, pada suatu hari, Kami saling berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm ketika beliau berangkat membawa keluarganya ke lembah yang tidak bertanaman di sisi Baitullah yang terhormat. Salah seorang di antara Kami berkata, ‘Kita sekarang adalah para pemuda yang kuat lagi sehat. Oleh karena itu, apakah udzur Kami di sisi Allah jika Kami kurang dalam menempuh perjalanan ke Baitullah. Apalagi Kami merasa bahwa hari-hari yang bergulir hanya menambah kelemahan. Maka, untuk apa diakhirkan?’ Kawan itu pun memicu dan memotivasi Kami untuk menempuh perjalanan dengan mengharapkan pertolongan dari Allah.”


Hasil gambar untuk pengorbanan
Keluarlah mereka berlima meninggalkan rumah-rumah mereka dengan perbekalan yang tidak mencukupi lebih dari satu pekan. Di perjalanan mereka, ada berbagai kesulitan, kesempitan, dan kesesakan yang hanya diketahui oleh Allah. Betapa banyak malam yang mereka lalui dengan lapar yang hampir membinasakan mereka. Tak terbilang malam yang mereka harus meninggalkan kenikmatan tidur lantaran kejaran binatang buas. Sering berulang malam yang berliput ketakutan akan para penyamun yang menghadang di berbagai lembah.
رُبَّ لَيْلٍ بَكَيْتُ مِنْهُ فَمَا
صِرْتُ فِي غَيْرِهِ بَكَيْتُ عَلَيْهِ
Betapa banyak malam yang telah kutangisi
Tatkala Kupindah ke malam (lain), kembali aku menangisinya
Syaikh Utsman berkata,
“Suatu malam, Saya tersengat oleh (binatang berbisa) di tengah perjalanan. Maka, Saya pun ditimpa oleh panas hebat dan rasa pedih dahsyat yang membuatku terduduk dan tidak bisa tidur. Saya telah mecium bau kematian berjalan di urat-uratku,
وَإِنِّي لَأَرْعَى النَّجْمَ حَتَّى كَأَنَّنِيْ
عَلَى كُلِّ نَجْمٍ فِي السَّمَاءِ رَقِيبُ
Sungguh Saya terus mencermati bintang-bintang itu, hingga seakan …
Saya adalah pengawas setiap bintang di langit
Kawan-kawanku pergi bekerja, sementara saya hanya berteduh di bawah pohon hingga mereka kembali di penghujung siang. Syaithan terus memberi was-was ke dalam hatiku, “Bukankah seharusnya Engkau tetap tinggal di negerimu? Mengapa Engkau membebani dirimu dengan hal yang Engkau tak mampu saja?”
Jiwaku menjadi berat dan hampir Saya melemah hingga kawan-kawanku datang. Salah seorang di antara mereka melihat ke wajahku dan bertanya akan keadaanku. Saya pun menoleh kepadanya dan mengusap setetes air mata yang telah mengalahkanku. Seakan, dia merasakan penderitaanku. Dia berkata, “Bangunlah. Berwudhulah, kemudian shalatlah. Engkau takkan mendapatkan, kecuali kebaikan –dengan izin Allah-.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” [Al-Baqarah: 45]
Dadaku pun menjadi lapang, dan Allah menghilangkan kesedihan dariku, Alhamdulillah.
Kerinduan mereka pada dua tanah Haram terus berdendang mengiringi mereka pada segala keadaan. Pedih perjalanan serta bahaya dan prahara laluan telah menjadi ringan.
Tiga orang di antara mereka telah meninggal. Yang terakhir wafat berada di hamparan lautan. Hal menakjubkan dari orang ketiga yang wafat adalah, dia berpesan kepada kedua kawannya,
“Jika kalian berdua mencapai Masjidil Haram, beritahukanlah kepada Allah akan kerinduanku berjumpa dengan-Nya. Mintalah kalian berdua kepada-Nya agar mengumpulkan Saya dan Ibuku bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”
Syaikh Utsman bertutur,
“Tatkala kawan Kami meninggal, Saya tertimpa gundah gulana hebat dan kesedihan dahsyat. Itulah hal terberat yang Saya jumpai pada perjalananku. (Kawanku) itu adalah orang yang paling sabar dan kuat di antara Kami. Saya telah khawatir meninggal sebelum mendapat nikmat mencapai Masjidil Haram. Saya telah menganggap hari-hari dan saat-saat itu lebih panas daripada bara api.
إِذَا بَرَقْتَ نَحْوَ الْحِجَازِ سِحَابَةٌ
دَعَا الشَّوْقُ مِنِّي بَرْقَهَا الْمُتَطَامِنُ
Jika awan bergelegar di arah Hijaz
Kerinduan yang damai memanggil petirnya
Begitu Kami tiba di Jeddah, Saya sakit luar biasa. Saya pun khawatir meninggal sebelum sempat mencapai Makkah. Saya berwasiat kepada kawanku, ‘Jika Saya meninggal, kafanilah Saya dalam ihramku dan dekatkanlah Saya sesuai kemampuan ke kota Makkah. Barangkali Allah melipatgandakan pahala untukku dan menerimaku sebagai orang-orang shalih.’
Kami pun tinggal di Jeddah beberapa hari, kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Makkah. Nafasku berhembus cepat dan kegembiraan memenuhi wajah. Rasa rindu terus menggoyang dan mendorongku hingga kami tiba di Masjidil Haram.”
Syaikh Utsman terdiam sesaat. Beliau menyeka linangan-linangan air matanya yang berderai kemudian bersumpah dengan nama Allah bahwa dia belum pernah melihat kelezatan dalam hidupnya sebagaimana kelezatan yang memenuhi seluruh lapisan hatinya tatkala beliau melihat Ka’bah yang mulia.
Beliau berkisah,
“Tatkala melihat Ka’bah, Saya bersujud syukur kepada Allah. Saya terus menangis, seperti anak-anak kecil yang menangis, karena dahsyatnya keagungan dan kharisma (Ka’bah). Betapa mulianya Baitullah itu dan sungguh penuh keagungan.
Kemudian, Saya mengingat kawan-kawanku yang belum dimudahkan untuk sampai ke Masjidil Haram. Saya pun memuji Allah Ta’âlâ atas nikmat dan keutamaan-Nya kepadaku. Selanjutnya, Saya memohon kepada Allah Subhânahu wata’ala untuk mencatat (kebaikan) langkah-langkah mereka dan tidak mengharamkan pahala untuk mereka serta mengumpulkan Kita semua pada kedudukan jujur di sisi Allah Yang Berkuasa Lagi Maha Mampu.”

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

INFO

SAYA MEMBUAT BLOG INI UNTUK MENAMBAH WAWASAN DAN ILMU PENGHETAHUAN TENTANG ISLAM . BAHWA ILMU INI SANGATLAH PENTING UNTUK KALIAN SEMUA DENGAN ILMU INI KALIAN AKAN MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN KEBAHAGIAN DI DUNIA MAUPUN DI AKHIRAT. AMIN YA RABBAL ALAMIN.

Followers

Popular Posts

MAKNA ALLAH SWT

Makna ”Allah SWT”:
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa makna ”Allah SWT” adalah: Allah (Tuhan) yang Mahasuci dan Mahatinggi.

Sebenarnya, SWT (Subhanahu wa Ta’ala) bukan satu-satunya lafaz yang disertakan oleh ummat Islam setelah lafaz ”Allah”. Masih banyak lagi lafaz-lafaz lain, antara lain:
- ’Azza wa Jalla => Allah ’Azza wa Jalla
- Jalla Jalaluh => Allah Jalla Jalaluh
- Tabaroka wa Ta’ala => Allah Tabaroka wa Ta’ala

Semua lafaz tersebut adalah sifat-sifat kemuliaan dan keagungan Allah SWT.

Perlu diperhatikan, meski pun secara bahasa lafaz ”Allah” berarti ”Tuhan”, sebagai seorang muslim kita harus tetap meyakini bahwa ”Allah” adalah nama bagi ”Zat” Tuhan Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Sebab Al-Qur’an sendiri – yang notabenenya wahyu Tuhan – menegaskan bahwa ”Allah” adalah nama bagi Tuhan Pencipta dan Penguasa jagad raya ini. Demikian juga dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad saw.

Wallahu a’lam.