Nabi Musa Astelah wafat. Tugas risalahnya telah purna dan pengorbanannya untuk Bani Israil juga berakhir. Ajal yang ditetapkan Allah tak dapat diundur atau diajukan. Meski malaikat maut yang akan menjemputnya sempat mengadu kepada Allah ketika penyamarannya sebagai manusia berujung reaksi keras Nabi Musa As yang mencolok matanya. Malaikat mengadu pada Tuhannya, “Ya Rabb, Engkau utus aku kepada hamba-Mu yang tak menginginkan kematian”.
Ternyata, penggalan kisah tersebut hanya salah paham yang disebabkan minimnya informasi yang sampai kepada Nabi Musa dan sang malaikat. Terbukti, ketika Allah menitahkan kembali untuk menawarkan kepada Nabi Musa supaya beliau meletakkan telapak tangannya di perut sapi liar (tsaur) dan setiap bulu akan dihitung satu tahun kehidupan. Namun, Sang Nabi menolak. Karena jika ajal sudah tiba, berarti perjumpaannya dengan kekasihnya akan menjadi nyata. Nabi Musa memilih berdoa agar dimatikan di tempat yang semakin dekat dengan tanah suci yang –dulu- pernah dijanjikan kepada Bani Israil,Palestina[1].
Sepeninggal Musa As, risalah kenabian tidaklah terhenti atau putus. Estafet tersebut berlanjut dengan diutusnya para nabi setelahnya. Ada yang berpendapat, Yusya’lah penerus pertama beliau, kemudian dilanjutkan oleh Samuel. Demikian tutur sebagian pakar tafsir. Termasuk di antaranya Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm yang juga menuangkan pendapatnya dalam bukunya Qashash al-Anbiyâ’.
Rupanya, penyesalan Bani Israil sangat mendalam karena penolakan mereka atas tanah Palestina yang pernah dijanjikan Allah kepada mereka. Hukuman Allah yang membuat mereka terkatung-katung pada akhirnya menjadikan sebagian mereka tersadar akan kelalaian berjihad dan keengganan berkorban untuk menjemput kemenangan yang sudah dipastikan Allah melalui janji-Nya sebagaimana disampaikan Musa As.
Hal inilah –mungkin- diantara sekian sebab yang menjadikan beberapa tokoh Bani Israil memberanikan diri menghadap Sang Nabi Penerus[2]untuk membicarakan mimpi-mimpi tanah suci dan perjuangan menuju ke sana. Keluar dari kehinaan, kenistaan dan keterpurukan yang Allah timpakan akibat maksiat dan penolakan berjihad di masa lampau.
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling. Kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Baqarah [2]: 246)
Cerita singkat ini menggambarkan bahwa sifat pengecut tidak benar-benar hilang di tengah-tengah mereka. Ada kepribadian ganda menyelinap di antara rasa sesal sebagian mereka. Sebagian lagi sudah mulai nyaman dengan kondisi yang sebenarnya pun tak bisa disebut ideal. Terkatung-katung di tengah ketidakpastian dan berada di padang tîh dalam keadaan yang jauh dari nyaman.
Prediksi Sang Nabi menjadi kenyataan. Kedatangan sebagian tokoh Bani Israil tidaklah mewakili keseluruhan Bani Israil yang ada atau bahkan yang telah insaf sekali pun. Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Dan benar! Meski kekhawatiran ini mereka jawab, “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Nantinya, hanya sedikit saja di antara mereka yang memenuhi panggilan jihad dan perlawanan terhadap rezim jabbârin di Palestina, Jalut yang zhalim.
Pada ayat berikutnya, Allah menuturkan proses turunnya pertolongan-Nya dengan sangat meyakinkan dan alur yang menegangkan. Dimulai dari pemilihan Thalut sebagai raja mereka.
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 247)
Sang Nabi Penerus menjelaskan bahwa Allah telah mengutus Thalut dan mengangkatnya sebagai raja bagi Bani Israil. Para tokoh tersebut terkejut. Sebagian di antara mereka mengira bahwa yang akan terpilih adalah salah seorang di antara mereka yang dibahasakan al-Quran dengan al-Mala’. Tapi, nyatanya yang muncul adalah figur yang unpredictable. Sosok yang sama sekali tidak diperkirakan oleh mereka sebelumnya. Bahkan nantinya, muncul resistensi yang cukup kuat.
Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Mereka mengira bahwa otoritas kekuasaan dan pemerintahan akan berada di antara mereka. Tapi, ternyata tidak. Penolakan mereka menurut ayat di atas berdasarkan dua hal:
- Kekuasaan dan pemerintahan lebih berhak dipegang oleh salah satu di antara mereka. Karena mereka merasa mewakili Bani Israi.l
- Thalut bukan figur yang menonjol kekayaan materinya yang mereka tuturkan dengan “al-Mâl”
Dua hal tersebut dijawab langsung oleh Sang Nabi, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”.
Kelebihan Thalut:
- al-Mushthafâ (pilihan Allah).
- Diberikan keluasan ilmu.
- Dianugerahi fisik yang kuat dan perkasa.
Kemudian standar materi sama sekali tidak dipakai oleh Allah. Di dalam ayat ini, Allah menggunakan dua redaksi yang berbeda yang saling menguatkan eksistensi kedua maknanya.
- Pertama, ba’atsa yang berarti mengutus/mengangkat (sebagai raja)
- Kedua, isthafâ yang berarti memilih (di antara akar katanya shafâ’– ishthifâ yang bermakna kemurnian)
Yang pertama menunjukkan al-Mab’uts adalah otoritas pengangkatan sebagai raja berasal dari Allah. Dia adalah anugerah Allah yang tak terbantahkan. Harus diterima dengan taat dan penuh ketundukan. Raja Thalut bukan dipilih manusia. Tidak pula direkomendasikan para malaikat. Bahkan tidak juga diusulkan oleh Nabi mereka. Atau muncul dari kalangan yang menonjol di Bani Israil. Tapi Thalut adalah pilihan Allah. Titah langit untuk bumi.
Yang kedua menunjukkan al-mushthafâ sebagai proses pemilihan dan kemurnian yang dihasilkan dari proses tersebut. Terbaik di antara orang-orang baik. Bagaikan madu yang disarikan melalui lebah dari saripati bunga-bunga. Maka pengangkatan Thalut oleh Allah sebagai raja tidak seperti menghadirkan makhluk lain –superpower– di tengah-tengah Bani Israil. Tetapi, ia adalah manusia biasa dan berada di tengah-tengah mereka. Allah justru ingin menegaskan proses pemilihan tersebut berjalan natural dengan bimbingan-Nya. Dia adalah yang terbaik di antara yang ada. Dan nantinya menjadi pembuka dan sebagai pendahuluan untuk memunculkan figur lainnya yang lebih baik lagi, yaitu Dawud muda yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai raja sekaligus Nabi bagi Bani Israil.
Sungguh lembut rekayasa Allah dalam memunculkan tokoh dan menganugerahi pemimpin yang diperlukan Bani Israil. Pemimpin yang diperlukan untuk mengeluarkan mereka dari kepengecutan. Mengangkat mereka dari kemalasan dan keengganan berkorban. Menarik kuat mereka dari kehinaan dan kenistaan akibat melanggar titah Tuhan. Pemimpin yang berwawasan dan berbadan kuat.
Sang Nabi Penerus melanjutkan kompetensi dan karakteristik kepemimpinan Thalut.
“Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepadamu. Di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. Tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah [2]: 248)
Thalut diyakini sebagai figur yang dijanjikan mampu mengembalikan Tabut yang hilang dan dirampas dari mereka. Atau penafsiran kedua secara zhahir, Allah akan mengembalikan Tabut tersebut melalui malaikat yang membawanya.
Ibnu Katsir, juga para pakar tafsir klasik lainnya memuat beberapa riwayat mengenai bentuk fisik Tabut tersebut. Sebagian besar mendiskripsikannya berupa peti berbentuk kotak empat persegi panjang. Tapi, penulis –sengaja- tidak menghadirkan riwayat-riwayat tersebut atau analisa dari riwayat tersebut demi ringkasnya tadabbur.
Yang menarik justru kalimat setelah Tabut yang dituturkan dengan redaksi “فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ” (di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu). Seolah Allah ingin menekankan makna Tabut tersebut benar-benar menjadi “pusaka” spirit dan pasokan mental bagi Bani Israil. Secara fisik, Tabut memuat peninggalan Musa dan Harun ‘Alaihimassalam.
Banyak pendapat mengungkapkan apa sesungguhnya Tabut tersebut. Sebagian menyatakan berisi Alwâh, lembaran-lembaran Kitab Taurat. Tetapi kata sakinah” lebih berdimensi ruh dan sipiritual. Bahwa Tabut tersebut adalah salah satu sumber spirit bagi Bani Israil. Ia ibarat sang saka merah putih di era perlawanan gerilyawan dan pejuang Indonesia melawan penjajahan Belanda atau Jepang.
Ia bagaikan seonggok besi tua berwujud becak di salah satu sudut rumah mewah di pelataran rumah megah seorang kaya raya. Ketika sang pemilik rumah bepergian, sang anak mencoba merapikan halaman dan menjual besi tua tersebut dengan tujuan merapikan taman dan pekarangan rumah. Ketika sang ayah kembali, ia terkejut karena besi tua tersebut telah hilang. Lalu ia memerintahkan anaknya untuk mencari becak tua sampai berhasil mendapatkannya kembali.
Sang anak pun terheran-heran, mengapa besi tua itu sangat berarti bagi ayahnya yang sangat kaya raya. Sang ayah dengan penuh penekanan bertutur bahwa ia dulunya adalah seorang tukang becak. Ia ingin menjelmakan becak tersebut sebagai Tabut bagi anak-anaknya yang akan memutar kembali kisah perjuangannya. Sebagai teladan dan buah tutur kekuasaan Allah terhadapnya.
Kira-kira demikianlah visualisasi Tabut. Agar terhadirkan di tengah Bani Israil kegigihan perjuangan Musa yang harus rela jauh dari keluarga aslinya. Besar di tengah rezim kezhaliman. Lalu melawan kezhaliman yang sumbernya juga adalah ayah angkatnya, Fir’aun. Setelah itu pun, Musa dengan sabarnya menyertai kaumnya dengan berbagai permintaan yang melampaui batas. Musa menyertai mereka saat Allah menghukum mereka di padang Tih.
Umat Islam pun saat ini bisa menghadirkan Tabut-tabut baru yang menjadi sarana datangnya sakinah. Tabut peninggalan Nabi Muhammad Saw itu bisa berupa mushaf-mushaf yang ada dalam genggaman kita. Dengan melihat mushaf yang kita pegang, memutar memori kita pada perjuangan Nabi Muhammad Saw saat menerima dan menyampaikan risalah kenabian-Nya.sepasang suami istri, Tabut keluarga mereka bisa berupa cincin pernikahan yang disimpan. Saat usia pernikahan emas mereka, kotak kecil berisi cincin tersebut akan memutar kembali memori indah saat-saat mereka memadu cinta dan harmoni dalam ikatan suci yang dicatat malaikat-Nya.
Lalu, Allah mengisahkan kepemimpinan Thalut.
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. al-Baqarah [2]: 249)
Thalut meninggalkan Bani Israil yang enggan memenuhi panggilan jihad dan kewajiban yang Allah turunkan untuk mereka. Thalut pun penuh percaya diri dan menyampaikan ujian atau seleksi pertama berupa sungai. Thalut mengatakan, “Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali mengambil seciduk tangan, maka dia adalah pengikutku.” Kenyataan mengungkapkan bahwa mereka yang lolos ujian ini sangat sedikit.
Imam Qatadah menyebutkan jumlah mereka hanya empat ribu dari enam puluh atau tujuh puluh ribu pasukan. Dari pasukan yang sedikit itu muncul keraguan sebagian di antara mereka, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Tapi sebagian mereka menguatkan lagi, mengukuhkan kembali iman dan keyakinan mereka, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Golongan kecil itu disebut Allah sebagai “Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah.” Orang yang berkeyakinan akan berjumpa dengan Allah bukanlah mereka yang frustasi dengan kehidupan. Mereka tidaklah orang yang menyia-nyiakan anugerah kehidupan ini. Justru, mereka menegaskan pentingnya usaha untuk menjemput kemenangan yang dijanjikan Allah:
- Mengesampingkan apapun hasil perjuangan mereka. Jika menang di dunia, maka tugas mereka akan terus berlanjut untuk merekayasa kebaikan supaya tersebar dengan luas dan mudah. Jika mereka gugur sebagai syahid, maka takkan sia-sia. Justru Allah akan menanti mereka dengan derajat dan kedudukan mulia di sisi-Nya.
- Dalam perjuangan kuantitas memang perlu. Tapi, di atas semuanya yang menentukan adalah Allah. Maka saat ini, yang lebih diperlukan adalah kualitas dan meledakkan potensi kemenangan melalui ikhtiar dan usaha maksimal.
Alur cerita ini seolah menjadi tenang dengan penegasan, “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” Tapi cerita berlanjut dengan ketegangan berikutnya.
“Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 250)
Doa tulus ini muncul dari kekuatan iman di saat kondisi realitas seolah mereka akan segera dikalahkan Jalut dengan segala mitos dan kuantitas tentaranya ataupun perlengkapan fisik mereka yang melebihi Bani Israil yang dibawa Thalut. Maka mereka pun dengan segala ketundukan memohon kesabaran, kekuatan pertahanan dan pertolongan atas orang-orang kafir.
“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan Daud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. al-Baqarah [2]: 251)
Dengan segala keangkuhan dan kesombongan, Jalut menantang Bani Israil untuk mengirim orang terbaiknya, tanding dengannya. Jalut pun menjanjikan pasukan dan kerajaan bagi siapa saja yang bisa mengalahkannya.
Jalut terpedaya oleh mitos yang dibuat-buat para penjilatnya. Benar, ia perkasa dan kuat dengan prestasi-prestasinya. Tetapi, ia lupa bahwa saat ia merendahkan orang lain dan menganggap dirinya paling kuasa, sejatinya pelan-pelan ia telah menggali kuburnya. Ia terlalu silau dengan popularitasnya. Ia terbius oleh angin puji-puji yang tak sekalipun menyinggung kekurangannya. Tak ada yang berani mengkritiknya. Tak ada yang berani melawan titahnya. Ia terbiasa mendengar paduan kata ketundukan. Telinganya selalu mendengar ketundukan padanya tanpa tahu apa motif ketundukan tersebut; loyalitas atau kemunafikan.
Tanpa diduga, seorang remaja muncul dari barisan Bani Israil yang barangkali berpikir berkali-kali untuk maju menandingi Jalut dengan segala mitosnya. Dawud muda maju dengan sebuah ketapel mungil di tangannya.
Ribuan pasang mata memandanginya tak percaya. Bocah inikah yang maju? Waraskah akal sehatnya? Ia akan menyerahkan nyawanya di tangan sang zhalim durjana. Sejenak suasana hening penuh tanda tanya.
Mari, visualisasikan kesombongan Jalut dengan tawa terbahak-bahak yang meledak sekaligus meremehkan Dawud kecil yang menurutnya bukan tandingannya. Bahkan jagoan mereka pun diragukan bisa menandingi Jalut. Apalagi Dawud. Apalagi bocah kecil itu tak bersenjata kecuali ketapel kecil di tangannya.
Tawa sombong dan angkuh itu segera terhenti. Kembali semua mata memandang. Mitos yang dibesar-besarkan itu tersungkur oleh sebiji batu kecil yang diayunkan Dawud muda.
Sang Zhalim itu lupa akhir kisah para pendahulunya. Namrud si angkuh terbunuh dengan seekor lalat yang Allah kirim memasuki tenggorokannya melalui hidungnya. Fir’aun si sombong lain yang mengaku tuhan tak berdaya diombang-ambingkan ombak Laut Merah. Ia mati tenggelam. Keduanya mati terhina. Bukan mati di tangan pendekar atau orang hebat. Tetapi mereka mati dengan cara terhinakan.
”Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.”
Dawud muda pun tidak instan menjelma raja. Tapi Allah menempanya untuk dijadikan pewaris kerajaan Thalut setelah ia wafat. Benar, setelah mengalahkan Jalut, ia menjelma sebagai pahlawan yang Allah angkat dari posisi sebelumnya yang tak dikenal kaumnya. Dawud muda sang penggembala kambing, seorang pemuda biasa.
Yang menarik dari redaksi ayat di atas adalah, “فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللَّهِ” (mereka mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah). Dan bisa jadi, kekalahan tersebut tanpa didahului pertumpahan darah. Karena Allah segera menjelaskan proses kekalahan mereka yaitu dengan “وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ” (dan Daud membunuh Jalut). Dawud membunuhnya dalam tanding dengan Jalut yang menantang Bani Israil dengan penuh keangkuhan dan kesombongan.
Allah meruntuhkan simbol kezhaliman dan keangkuhan tersebut. Allah memupuskan semua mitos yang dipalsukan. Dengan satu kematian saja, Jalut. Meskipun, tidak menutup kemungkinan proses itu terjadi di tengah kecamuk perang dan korban jiwa yang berjatuhan.
Tetapi penulis memilih penafsiran pertama. Bahwa Allah cukup mematikan simbol dan ruh kezhaliman tersebut melalui seorang anak muda dengan senjata seadanya. Itulah kekalahan yang baik. Kemenangan yang berkah. Kemenangan dengan mengalahkan yang bukan berarti membunuh dan menghancurkan. Kemenangan yang diraih dengan sportifitas yang tinggi meski diremehkan lawan. Kemenangan yang diraih dengan keberanian yang penuh optimisme meski sangat tidak diunggulkan. Kemenangan yang berpijak pada keyakinan akan janji dari Sang Pemberi kemenangan.
Dan itulah sunnah Allah. Akan selalu Dia kirimkan tokoh protagonis yang akan hentikan kezhaliman, pupuskan mimpi angkuh sang durjana, robohkan mitos yang dibesar-besarkan dengan omong kosong dan rekayasa yang didengung-dengungkan untuk menakut-nakuti hamba Allah yang menebar kebaikan. Karena jika tidak demikian, kerusakan akan meluas. Dan Allah tidak menyukai kerusakan di bumi-Nya.
“Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus.”(QS. al-Baqarah [2]: 252)
Kisah di atas bukanlah dongeng atau cerita fiksi buatan manusia. Tetapi kisah nyata yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai tanda kerasulan dan membuktikan kekuasaan Allah yang tiada batas. Beliau sampaikan kisah tersebut kepada kita untuk dipercayai sebagai spirit menjemput kemenangan yang dijanjikan Allah, di depan mata. Kemenangan itu dekat. Raihlah dengan ikhtiar dan taat.
Catatan Kaki:
[1] Lihat hadits Bukhari nomer 3407, riwayat Abu Hurairah. Imam Muslim dengan riwayat mirip dari Abu Hurairah (nomer 2372). Hadits yang sejenis juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya.
[2] Menurut kebanyakan pakar tafsir nabi yang dimaksud di sini adalah Samuel bin Bali bin Alqamah. (lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Qashash al-Anbiya’ Ibnu Katsir)
0 komentar:
Posting Komentar