Salah satu peninggalan sejarah kehidupan makhluk paling mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih dan akan terus disaksikan oleh dunia adalah Masjid yang beliau bangun di kota madinah yang kita kenal dengan nama Masjid Nabawi. Masjid Nabawi yang saat ini kita lihat berdiri begitu megah dahulunya hanyalah sebuah bangunan sederhana. Bagaimana kisah selengkapnya dari perjalanan panjang sejarah masjid ini, mari kita simak bersama. (~admin~)
Pembangunan Masjid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun Masjid Nabawi pada bulan Raibul Awal di awal-awal hijarahnya ke Madinah. Pada saat itu panjang masjid adalah 70 hasta dan lebarnya 60 hasta atau panjangnya 35 m dan lebar 30 m. Kala itu Masjid Nabawi sangat sederhana, kita akan sulit membayangkan keadaannya apabila melihat bangunannya yang megah saat ini. Lantai masjid adalah tanah yang berbatu, atapnya pelepah kurma, dan terdapat tiga pintu, sementara sekarang sangat besar dan megah.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan (bulan puasa) dibanding bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan tersebut, Allah memilihnya sebagai waktu turunnya Al Qur’an yang mulia.”[1] Ini menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa dari bulan lainnya.
Allah Ta’ala pun telah mewajibkan puasa Ramadhan. Ini berarti puasa Ramadhan lebih utama dari puasa lainnya yang dihukumi sunnah. Dan amalan wajib tentu saja harus lebih didahulukan daripada amalan sunnah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَجَبَ التَّقَرُّبُ بِالْفَرَائِضِ قَبْلَ النَّوَافِلِ وَالتَّقَرُّبُ بِالنَّوَافِلِ إنَّمَا يَكُونُ تَقَرُّبًا إذَا فُعِلَتْ الْفَرَائِضُ
“Wajib mendekatkan diri pada Allah dengan melakukan hal-hal wajib sebelum yang sunnah. Mendekatkan diri pada Allah dengan perkara yang sunnah bisalah dianggap sebagai ibadah jika yang wajib dilakukan.”[2]
Telah ada dalil yang menjelaskan motivasi untuk melaksanakan qiyam ramadhan yaitu shalat tarawih. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[3]
Begitu pula dalam hadits lainnya diterangkan mengenai keutamaan melakukan amalan lainnya (amalan apa saja) di bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikeluarkan dalam Sunan At Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِى مُنَادٍ يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Pada malam pertama bulan Ramadhan syetan-syetan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satupun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun pintu yang tertutup, serta seorang penyeru menyeru: “Wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadhan”.[4]
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizhohullah mengatakan, “Dalil ini menunjukkan keutamaan seluruh amalan kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi amalan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) setelah puasa wajib, sebagaimana keterangan yang telah lewat mengenai keutamaan qiyam Ramadhan.”[5]
Dari sinilah ada beberapa hadits dho’if (hadits lemah) yang menjelaskan bahwa amalan di bulan Ramadhan itu akan berlipat-lipat pahalanya. Hadits dho’if tersebut masih tercakup dalam hadits shahih riwayat Tirmidzi di atas.
Berlipatnya pahala amalan di bulan Ramadhan ini mutlak untuk amalan apa saja sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili dalam kitabnya Tajridul Ittiba’[6]. Kita dapat pula melihat dari perkataan para salaf berikut.
Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.”
An Nakho’i rahimahullah mengatakan, “Puasa sehari di bulan Ramadhan lebih afdhol dari puasa di seribu hari lainnya. Begitu pula satu bacaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) di bulan Ramadhan lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di hari lainnya. Begitu juga pahala satu raka’at shalat di bulan Ramadhan lebih baik dari seribu raka’at di bulan lainnya.”[7]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat-lipat dibanding amalan lainnya, maka puasa di bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibanding puasa di bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena mulianya bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa di bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam.”[8]
Intinya, di antara pahala suatu amalan bisa berlipat-lipat karena amalan tersebut dilaksanakan di waktu yang mulia yaitu seperti pada bulan Ramadhan. Begitu amalan bisa berlipat pahalanya jika dilaksanakan di tempat yang mulia (seperti di Makkah dan Madinah) atau bisa pula berlipat pahalanya karena dilihat dari keikhlasan dan ketakwaan orang yang mengamalkannya.[9]
Semoga dengan mengetahui hal ini, kita akan semakin semangat melakukan amalan di bulan suci Ramadhan ini. Apalagi dengan dibukakannya pintu surga, ditutupnya pintu neraka dan dibelenggunya setan di bulan Ramadhan, seharusnya kita lebih giat lagi untuk beribadah dan beramal. Oleh karena itu, janganlah meremehkan satu kebaikan sedikit pun juga di bulan penuh berkah ini. Semoga Allah beri kemudahan untuk beramal sholih dengan senantiasa meminta pertolongan Allah, dengan niatan ikhlas karena mengharap wajah-Nya dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Panggang-GK, 3 Ramadhan 1431 H (13/8/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 2/179.
[2] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 17/133.
[3] HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759.
[4] HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[5] Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, Dar Al Imam Ahmad, cetakan 1428 H, hal. 118.
[6] Lihat Tajridul Ittiba’, hal. 117-118.
[7] Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 270.
[8] Lathoif Al Ma’arif, hal. 271.
[9] Lihat penjelasan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam Lathoif Al Ma’arif, hal. 269-271.
" data-medium-file="" data-large-file="" class="wp-image-3787 size-full" src="https://i1.wp.com/cdn.kisahmuslim.com/wp-content/uploads/2013/10/Masjid-Nabawi-Kiblat-Baitul-Maqdis.jpg" alt="Masjid Nabawi, Kiblat Baitul Maqdis" width="300" height="226" style="border: none;">
Area yang hendak dibangun Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bani Najjar, “Wahai Bani Najjar, berilah harga bangunan kalian ini?” Orang-orang Bani Najjar menjawab, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminta harga untuk bangunan ini kecuali hanya kepada Allah.” Bani Najjar dengan suka rela mewakafkan bangunan dan tanah mereka untuk pembangunan Masjid Nabawi dan mereka berharap pahala dari sisi Allah atas amalan mereka tersebut.
Anas bin Malik yang meriwayatkan hadis ini menuturkan, “Saat itu di area pembangunan terdapat kuburan orang-orang musyrik, puing-puing bangunan, dan pohon kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memindahkan mayat di makam tersebut, meratakan puing-puing, dan menebang pohon kurma.”
Pada tahun 7 H, jumlah umat Islam semakin banyak, dan masjid menjadi penuh, Nabi pun mengambil kebijakan memperluas Masjid Nabawi. Beliau tambahkan masing-masing 20 hasta untuk panjang dan lebar masjid. Utsman bin Affan adalah orang yang menanggung biaya pembebasan tanah untuk perluasan masjid saat itu. Peristiwa ini terjadi sepulangnya beliau dari Perang Khaibar.
Masjid Nabawi adalah masjid yang dibangun dengan landasan ketakwaan. Di antara keutamaan masjid ini adalah dilipatgandakannya pahala shalat di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjid al-Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mimbar Nabi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
“Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman surga, dan mimbarku di atas telagaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Awalnya Nabi berkhutbah di atas potongan pohon kurma kemudian para sahabat membuatkan beliau mimbar, sejak saat itu beliau selalu berkhutbah di atas mimbar. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah Jumat berdiri di atas potongan pohon kurma, lalu ada seorang perempuan atau laki-laki Anshar mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami membuatkanmu mimbar?’ Nabi menjawab, ‘Jika kalian mau (silahkan)’. Maka para sahabat membuatkan beliau mimbar. Pada Jumat berikutnya, beliau pun naik ke atas mimbarnya, terdengarlah suara tangisan (merengek) pohon kurma seperti tangisan anak kecil, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya. Pohon it uterus ‘merengek’ layaknya anak kecil. Rasulullah mengatakan, ‘Ia menagis karena kehilangan dzikir-dzikir yang dulunya disebut di atasnya’.” (HR. Bukhari)
Di antara keagungan dan keutamaan mimbar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bersumpah di dekatnya, barangsiapa bersumpah di dekat mimbar tersebut dia telah berdusta dan berdosa.
لَا يَحْلِفُ عِنْدَ هَذَا الْمِنْبَرِ عَبْدٌ وَلَا أَمَةٌ، عَلَى يَمِينٍ آثِمَةٍ، وَلَوْ عَلَى سِوَاكٍ رَطْبٍ، إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ
“Janganlah seorang budak laki-laki atau perempuan bersumpah di dekat mimbar tersebut. Bagi orang yang bersumpah, maka dia berdosa…” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim)
Raudhah
Raudhah adalah suatu tempat di Masjid Nabawi yang terletak antara mimbar beliau dengan kamar (rumah) beliau. Rasulullah menerangkan tentang keutamaan raudhah,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي قال: “مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara rumahku dan mimbarku terdapat taman di antara taman-taman surga. Dan mimbarku di atas telagaku.” (HR. Bukhari).
Jarak antara mimbar dan rumah Nabi adalah 53 hasta atau sekitar 26,5 m.
Shufah Masjid Nabawi
Setelah kiblat berpindah (dari Masjid al-Aqsha mengarah ke Ka’baj di Masjid al-Haram). Rasulullah mengajak para
sahabatnya membangun atap masjid sebagai pelindung bagi para sahabat yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka adalah orang-orang yang hijrah dari berbagai penjuru negeri menuju Madinah untuk memeluk Islam akan tetapi mereka tidak memiliki kerabat di Madinah untuk tinggal disana dan belum memiliki kemampuan finasial untuk membangun rumah sendiri. Mereka ini dikenal dengan ash-habu shufah.
Rumah Nabi
Mungkin kata rumah terlalu berlebihan untuk menggambarkan kediaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya lebih tepat kalau kita sebut dengan istilah kamar. Kamar Nabi yang berdekatan dengan Masjid Nabawi adalah kamar beliau bersama ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Nabi Muhammad dimakamkan di sini, karena beliau wafat di kamar Aisyah, kemudian Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dimakamkan pula di tempat yang sama pada tahun 13 H, lalu Umar bin Khattab pada tahun 24 H.
Keadaan Makam Nabi
Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kiblat kemudian di belakang beliau (dikatakan di belakang karena menghadap kiblat) terdapat makam Abu Bakar ash-Shiddiq dan posisi kepala Abu Bakar sejajar dengan bahu Nabi. Di belakang makam Abu Bakar terdapat makam Umar bin Khattab dan posisi kepala Umar sejajar dengan bahu Abu Bakar. Di zaman Nabi kamar beliau berdindingkan pelepah kurma yang dilapisi dengan bulu. Kemudian di zaman pemerintahan Umar bin Khattab dinding kamar ini diperbaiki dengan bangunan permanen.
Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah ia kembali merenovasi kamar tersebut, lebih baik dari sebelumnya. Setelah dinding tersebut roboh dan menyebabkan kaki Umar bin Khattab terlihat (kemungkinan roboh karena faktor alam sehingga tanah makam tergerus dan kaki Umar menjadi terlihat), Umar bin Abdul Aziz kembali membenahinya dengan bangunan batu hitam. Setelah itu diperbaiki lagi pada tahun 881 H.
Subhanallahu, kejadian ini menunjukkan kebenaran sabda Nabi bahwa jasad seorang yang mati syahid itu tidak hancur. Umar bin Khattab syahid terbunuh ketika menunaikan shalat subuh.
Usaha Pencurian Jasad Nabi
Pertama, pencurian jasad Nabi di makamnya pertama kali dilakukan oleh seorang pimpinan Dinasti Ubaidiyah, al-hakim bi Amrillah (wafat 411 H). Ia memerintahkan seorang yang bernama Abu al-Futuh Hasan bin Ja’far. Al-Hakim memerintahkan Hasan bin Ja’far agar memindahkan jasad Nabi ke Mesir. Namun dalam perjalanan menuju Madinah angin yang kencang membinasakan kelompok Abu al-Futuh Hasan bin Ja’far.
Kedua, gagal pada upaya pertamanya, al-Hakim bi Amrillah belum bertaubat dari makar yang ia lakukan. Ia memerintahkan sejumlah orang untuk melakukan percobaan kedua. Al-Hakim bi Amrillah mengirim sekelompok orang penggali kubur menuju Madinah. Orang-orang ini diperintahkan untuk menetap beberapa saat di daerah dekat Masjid Nabawi. Beberapa saat mengamati keadaan, mereka mulai melaksanakan aksinya dengan cara membuat terowongan bawah tanah. Setelah dekat dengan makam, orang-orang menyadari adanya cahaya dari bawah tanah, mereka pun berteriak “Ada yang menggali makam Nabi kita!!” Lalu orang-orang memerangi sekelompok penggali kubur ini dan gagallah upaya kedua dari al-Hakim bi Amrillah. Kedua kisah ini selengkapnya bisa dirujuk ke buku Wafa al-Wafa, 2: 653 oleh as-Samhudi.
Ketiga, upaya pencurian jasad Nabi kali ini dilakukan atas perintah raja-raja Nasrani Maroko pada tahun 557 H. saat itu Nuruddin az-Zanki adalah penguasa kaum muslimin di bawah Khalifah Abbasiyah. Dalam mimpinya Nuruddin az-Zanki bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengatakan “Selamatkan aku dari dua orang ini -Nabi menunjuk dua orang yang terlihat jelas wajah keduanya dalam mimpi tersebut-.” Nuruddin az-Zanki langsung berangkat menuju Madinah bersama dua puluh orang rombongannya dan membawa harta yang banyak. Setibanya di Madinah, orang-orang pun mendatanginya, setiap orang yang meminta kepadanya pasti akan dipenuhi kebuthannya.
Setelah 16 hari, hampir-hampir seluruh penduduk Madinah datang menemuinya, namun ia belum juga melihat dua orang yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya. Ia pun bertanya, “Adakah yang tersisa dari penduduk Madinah?” Masyarakat menjawab, “Ada, dua orang kaya yang sering berderma, mereka berasal dari Maroko.” Masyarakat menyebutkan tentang keshalehan keduanya, tentang shalatnya, dan apabila keduanya dipinta pasti memberi. Ternyata dua orang inilah yang dilihat az-Zanki dalam mimpinya dan keduanya sengaja tinggal sangat dekat dengan kamar Nabi. Az-Zanki menanyakan perihal kedatangan mereka ke Madinah. Keduanya menjawab mereka hendak menunaikan haji.
Az-Zanki menyelidiki dan mendatangi tempat tinggal mereka, ternyata rumah tersebut kosong. Saat ia mengelilingi tempat tinggal dua orang Maroko ini, ternyata ada sebuah tempat –semisal ruangan kecil- yang ada lubangnya dan berujung di kamar Nabi. Keduanya tertangkap ‘basah’ hendak mencuri jasad Nabi, keduanya pun dibunuh di ruang bawah kamar Nabi tersebut. Selengkapnya lihat Wafa al-Wafa 2: 648.
Keempat, upaya pencurian jasad Nabi oleh orang-orang Nasrani Syam. Orang-orang ini masuk ke wilayah Hijaz, lalu membunuh para peziarah kemudian membakar tempat-tempat ziarah. Setelah itu mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengambil jasad Nabi di makamnya. Ketika jarak mereka denga kota Madinah tinggal menyisakan perjalanan satu hari, mereka bertemu dengan kaum muslimin yang mengejar mereka. Mereka pun dibunuh dan sebagiannya ditangkap oleh kaum muslimin (Rihlatu Ibnu Zubair, Hal: 31-32)
Amalan Bid’ah Terkait dengan Ziarah ke Masjid Nabawi
Sering dijumpai peziarah Masjid Nabawi mengusap-usap kamar Nabi ini, bahkan ada yang menciuminya dalam rangka mengharap berkah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ulama telah sepakat, barangsiapa yang berziarah ke makam Nabi Muhammad atau ke makam nabi selain beliau atau makam orang-orang shaleh, makam sahabat, makam ahlul bait, atau selain mereka, tidak boleh mengusap-usap atau menciumnya, bahkan tidak ada satu pun benda mati di dunia ini yang disyariatkan untuk dicium kecuali hajar aswad.” (Majmu’ Fatawa, 27:29)
Tidak boleh juga untuk thawaf mengelilingi kamar Nabi, thawaf adalah salah satu bentuk ibadah, dan tidak diperkenankan beribadah kecuali hanya kepada Allah. Ada juga dijumpai sebagian peziarah Masjid Nabawi yang bersujud mengarah ke makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini semua adalah ritual-ritual yang haram dilakukan ketika berziarah ke Masjid Nabawi.
Perluasan Masjid Nabawi
– Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melebarkan Masjid Nabawi pada tahun ke-7 H, sepulangnya beliau dari Khaibar.
– Pada zaman Umar bin Khattab, tahun 17 H, Masjid Nabawi kembali diperluas. Umar juga menambahkan sebuah tempat yang agak meninggi di luar masjid yang dinamakan batiha. Tempat ini digunakan oleh orang-orang yang hendak mengumumumkan suatu berita, membacakan syair, atau hal-hal lainnya yang tidak terkait syiar agama. Sengaja Umar membuatkan tempat ini untuk menjaga kemuliaan masjid.
– Perluasan masjid di masa Utsman bin Affan tahun 29 H.
– Perluasan masjid oleh Khalifah Umayyah, Walid bin Abdul Malik pada tahun 88-91 H.
– Perluasan masjid oleh Khalifah Abbasiyah, al-Mahdi pada tahun 161-165 H.
– Perluasan oleh al-Asyraf Qayitbay pada tahun 888 H.
– Perluasan oleh Sultan Utsmani, Abdul Majid tahun 1265-1277 H.
– Perluasan oleh Raja Arab Saudi, Abdul Aziz alu Su’ud tahun 1372-1375 H.
– Perluasan oleh Khadimu al-Haramain asy-Syarifain, Fahd bin Abdul Aziz alu Su’ud tahun 1406-1414 H.
– Perluasan masjid yang saat ini sedang berlangsung oleh Khadimu al-Haramain asy-Syarifain, Abdullah bin Abdul Aziz.
Mudah-mudahan sejarah singkat Masjid Nabawi ini semakin membangkitkan kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan Masjid Nabawi itu sendiri. Semoga Allah senantiasa menjaga masjid ini dari orang-orang yang hendak melakukan keburukan, amin.
0 komentar:
Posting Komentar